Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 14 Februari 2009

Mitra Kerja atau Budak Kerja?

Perusahaan besar biasanya memberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang dalam hal ini bisa berupa perorangan atau badan hukum untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya. Misalnya, menjadi pemasok barang-barang merchandize berupa gelas, jam tangan, tas dengan logo perusahaan sebagai alat bantu promosi. Atau, bisa juga pencetakan alat-alat kantor.
Banyak perusahaan yang telah menerapkan cara ini. Sebuah jaringan pusat perbelanjaan di Indonesia bahkan sama sekali tidak memiliki stok barang sendiri. Para pihak ketigalah yang memasok barang untuk memenuhi kebutuhan konsumennya. Proses terjalinnya kerjasama antara mereka biasanya didahului dengan pengumuman terbuka akan adanya tender pengadaan barang atau jasa. Kualifikasi dan persyaratan untuk dapat mengikuti tender itu juga diumumkan. Dengan penggambaran umum yang cukup jelas biasanya berbagai pihak yang merasa memenuhi kualifikasi untuk ikut tender akan tertarik.
Setelah itu, mulailah perjalanan panjang bagi mitra kerja untuk mengikuti berbagai babak kualifikasi, sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan itu. Banyak hal yang menjadi alasan sebuah perusahaan dapat dipilih untuk menjadi mitra kerja. Misalnya pengalaman dari pemilik atau profesionalisme dalam menangani pekerjaan yang sama sebelumnya. Siapa saja klien yang pernah ditangani, berapa lama usia perusahaan, nama baik perusahaan dan harga yang kompetitif sering menjadi pertimbangan.
Sebagai perusahaan kecil, tentu saja bangga jika terpilih menjadi mitra kerja perusahaan besar. Terbayang hal itu akan dapat mendongkrak citra bonafiditas perusahaan dengan menyebutkan nama perusahaan besar itu dalam daftar portofolio klien. Begitu juga bayangan keuntungan yang akan mengalir dari perusahaan besar tadi.
Karena bayangan-bayangan indah itu, tak jarang mitra kerja mau saja melaksanakan apa yang diminta oleh perusahaan besar pemberi kerja. Biasanya perjuangan tahap akhir adalah menentukan harga jasa atau barang yang akan dijadikan obyek pekerjaan. Tim dari perusahaan besar biasanya sangat ahli dan piawai dalam menekan harga. Maklum mereka adalah sekumpulan orang pintar yang memang terlatih untuk melakukan pekerjaan itu.
Semua alasan yang dikemukakan mitra kerja seperti kualitas, keunikan, nilai tambah, dan lain-lain bisa saja tidak digubris oleh tim itu. Mereka hanya mau tahu, apakah si vendor bersedia atau tidak dengan harga yang ditawarkan. Setelah itu, take it or leave it. Vendor juga tak diberi waktu yang cukup untuk berfikir, karena masih banyak mitra kerja lain yang antri untuk mengerjakan pekerjaan ini, jika ia tidak mau. Take it or leave it, dengan kata lain tidak perduli apakah mitra kerjanya ini akan dapat bayaran atau imbalan yang layak sehingga dapat bekerja dengan baik.. Mitra kerja yang dapat memberikan harga yang paling murah adalah mitra kerja yang bisa diajak bekerja sama dan diberikan kesempatan.


Akhirnya menyerahlah mitra kerja tadi terhadap harga dan kondisi kerja yang sudah ditentukan oleh perusahaan besar. Harapannya, dengan mengerjakan pekerjaan ini akan memberikan nilai tambah terhadap nama perusahaannya, dan itu dapat menjadi bekal untuk mendapatkan pekerjaan lainnya di perusahaan besar lainnya. Mulailah mitra kerja ini bekerja dengan keras untuk mensiasati bagaimana dengan budget yang minim dapat memenuhi permintaan dan persyaratan dalam perjanjian kerja itu. Berat rasanya apalagi ditambah dengan adanya permintaan tambahan pekerjaan yang tidak tercakup di perjanjian kerja tapi harus dikerjakannya. Mau menolak tidak enak, karena berharap akan mendapatkan pekerjaan tambahan lagi.Akhirnya diakhir kontrak pekerjaan babak belurlah mitra kerja tadi baik dalam pengerjaannya maupun dalam meraih keuntungan.

Perusahaan besar seharusnya menjadi bapak angkat, menjadi pendorong serta mentor agar perusahaan kecil dapat belajar mendapatkan “transfer of knowledge atau technology”, bukan menjadi monster yang menjadikan mitra kerjanya sebagai budak kerja. Hei..why not? Ini adalah hukum dagang , siapa yang pintar dan kuat berhak menentukan siapa yang menjadi mangsanya. Kalau tidak mau masih banyak perusahaan lain yang antri untuk mendapatkan pekerjaan ini. Bertanyalah pada hati nurani, jika kita sebagai pihak yang mengerjakannya apakah sudah layak antara hak dan kewajibannya?. Sudah saatnya diatur perjanjian kerjasama yang lebih adil antara pihak yang kuat dengan pihak yang lebih lemah agar perusahaan kerja betul menjadi mitra kerja bukan budak kerja.

Tidak ada komentar: