Kadin: Kaji ulang UU Tenaga Kerja
Revisi soal pesangon akan kurangi penggunaan pekerja outsourcing
JAKARTA: Pengusaha, melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, kembali meminta pemerintah untuk mengkaji ulang Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Kadin Indonesia M.S. Hidayat berjanji revisi soal berbagai ketentuan tentang pesangon yang ada dalam UU Ketenagakerjaan, akan diikuti dengan berkurangnya penggunaan sistem alih daya (outsourcing) dalam rekrutmen pekerja.
“Di UU itu ada ketentuan tentang pesangon yang memberatkan pengusaha. Hal itu tidak ada di luar negeri. Akhirnya, banyak perusahaan besar yang menghindari itu [ketentuan pesangon], dengan menggunakan pekerja outsourcing,” jelasnya dalam acara workshop yang diselenggarakan Kadin dengan tema Tren Global Alih Daya atau Outsourcing, kemarin.
Penggunaan pekerja dengan sistem outsourcing memang diperbolehkan dana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Di pihak lain, hal mengenai aturan outsourcing inilah yang banyak dikeluhkan oleh pekerja.
Hidayat menambahkan pemerintah telah meminta Kadin untuk memberikan masukan mengenai hal itu paling lambat pada bulan depan.
“Kami sudah susun roadmap soal apa yang harus dilakukan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Salah satu hal yang diajukan adalah review [mengkaji kembali] UU No. 13 soal Ketenagakerjaan,” katanya.
Kendati menyebutkan penggunaan tenaga kerja dengan sistem outsourcing bisa dikurangi dengan adanya revisi UU Ketenagakerjaan, Hidayat yakin sistem tersebut akan bisa membantu Indonesia mengurangi tingkat pengangguran yang tinggi.
“Outsourcing yang sekarang ini banyak digunakan, bisa dikurangi. Namun, ada bidang pekerjaan tertentu yang memang tidak bisa dihindari untuk tetap menggunakan sistem outsourcing, sebagaimana misalnya yang terjadi di India,” jelasnya.
Iftida Yasar, Ketua Komite Tetap bidang Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kadin Indonesia, menambahkan UU No. 13/2003 memang harus direvisi karena UU tersebut juga tidak disukai oleh pekerja.
“Pekerja tidak suka karena ada ketentuan soal outsourcing-nya, sedangkan pengusaha tidak suka karena ada ketentuan soal PHK dan pesangon. Jadi memang harus direvisi. Perlu ada aturan pelaksanaan yang jelas untuk menetapkan jalan tengah dari UU ini,” jelasnya.
Perlindungan pekerja
Programme Officer Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Lusiani Julia, yang dtemui dalam kesempatan yang sama, mengatakan pemerintah seharusnya lebih mengutamakan perlindungan tenaga kerja dalam mengatur tentang outsourcing.
Mengacu pada UU No. 13/ 2003, sistem outsourcing boleh digunakan dengan sejumlah ketentuan seperti perusahaan diberi batasan waktu tertentu dalam menggunakan pekerja yang sama dalam sistem alih daya tersebut (masa kerja pekerja outsourcing).
Perusahaan juga harus menentukan bidang-bidang yang pokok (core) dan yang tidak pokok (non-core) dalam kegiatan usahanya, dan hanya boleh menyerahkan pekerjaan yang masuk dalam bidang non-core kepada pekerja outsourcing.
“Ketentuan soal masa kerja serta core dan non-core dalam sistem outsourcing itu juga belum terbukti mampu melindungi tenaga kerja kan? Jadi, sebenarnya harus ada sistem yang lebih bagus seperti jaminan sosial, sehingga pengusaha tidak merasa harus menanggung semuanya sendiri,” jelasnya.
Pemerintah diminta mampu menyelesaikan masalah ini agar tidak terus-menerus terjadi konflik antara pengusaha dan pekerja.
“Hal yang ditakutkan oleh pengusaha selama ini adalah membayar uang pesangon. Jadi, pemerintah harus membuat aturan agar pesangon ini tidak menjadi hal yang menakutkan,” kata Lusiani. (yeni.simanjuntak@bisnis.co.id)
Oleh Yeni H. Simanjuntak
Bisnis Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar