Dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang ahli agama yang terkemuka dikatakan bahwa jika suami kita dapat mencukupi kebutuhan keluarga seharusnya perempuan tidak perlu bekerja mencari penghasilan tambahan. Keberkahan sebuah rumah tangga bukan dikarenakan banyaknya uang yang dihasilkan berdua, tapi lebih berkah jika hanya suami saja yang bekerja. Jika saja pemerintah membayar gaji yang cukup kepada para suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya atau memberikan gaji kepada perempuan yang mau mengurus anaknya dirumah, maka persoalan dalam rumah tangga akan tidak ada. Perempuan menjalankan fungsinya sebagai penjaga dan tiang rumah tangganya sedangkan suami mencari nafkah. Perempuan yang tinggal dirumah dapat mengurus anak dan suaminya dengan tenang, sehingga tercipta suasanan rumah tangga yang rukun, damai penuh cinta kasih.
Ketika perempuan mulai meninggalkan rumah mencari uang sendiri dengan mengatas namakan karir dan persamaan hak, maka mulailah timbul masalah. Dari segi pendapatan memang meningkat yang tadinya hanya bergaji Rp 3 juta ditambah Rp 3 juta lagi menjadi Rp 6 juta. Tapi ingat pengeluaran juga bertambah, uang yag tadinya Rp 3 juta dicukup-cukupkan untuk keperluan keluarga menjadi dirasa kurang ketika penghasilan bertambah. Adanya kebutuhan untuk transportasi lebih, jika tempat kerja berbeda, anggaran untuk sarapan (kalau tidak sempat sarapan dirumah), makan siang, makanan kecil ekstra untuk sore hari, anggaran untuk pembantu, baby sitter dan konsumsi untuk mereka yang ikut kita menjadi biaya yang kurang diperhitungkan pada awal mulanya. Belum lagi biaya untuk perlengkapan bekerja, mulai dari baju, tas, sepatu, kosmetik, HP,laptop dan biaya ke salon, pijat karena stress, dll. Uang yang tadinya terlihat banyak malahan dengan perempuan bekerja menjadi kurang.
Idealnya memang jika suami dapat mencukupi kita tidak usah bekerja diluar rumah, terutama ketika anak-anak masih balita (bawah lima tahun) yang merupakan ”golden age” tahun emas, dimana mereka menyerap hampir 80 % dari segala sesuatu disekitarnya. Masa ini sangat penting karena akan mempengaruhi kecerdasan mereka dimasa yang akan datang dari segala segi, intelektual, emosional dan spiritual Jadi sangatlah salah jika dalam masa penting dan rentan ini mereka diserahkan kepada orang yang kualitasnya lebih rendah dari kita, misalnya pembantu rumah tangga. Jika pengasuhan diserahkan kepada orang tua atau saudara yang mempunyai kualitas yang setara dengan kita, maka masih dapat diterima.
Dalam kenyataannya hidup di dunia ini tidak ada yang ideal, segala ketidak adilan, masalah, penderitaan , akan selalu mengiringi langkah kita.Untuk mereka yang tidak beruntung bekerja adalah suatu keharusan, jika tidak bekerja maka tidak bisa makan. Mereka hanya sekedar bertahan untuk hidup. Banyak perempuan yang stress karena harus memikul beban ganda, sebagai ibu rumah tangga dan juga harus bekerja mencari nafkah. Ada yang suaminya di PHK sehingga beban keluarga menjadi berada dipundaknya. Keadaan menjadi makin parah jika suami yang tidak bekerja tidak mau menyingsingkan tangan membantu urusan rumah tangga.
Keadaan ini bukan saja terjadi dilingkungan keluarga miskin, tapi juga di keluarga yang kaya. Perempuan dari kalangan keluarga kaya mendapat pendidikan bagus sehingga mereka juga mendapatkan pekerjaan yang bagus. Karena keadan ekonomi baik, maka tidak terlihat bagaimana bentuk penderitaan mereka, atau walau menderita tapi mereka tetap mempunyai uang banyak. Kalau dipikir dan dapat memilih tentu saja mereka juga ingin bahagia, sebab uang tidak akan dapat membeli kebahagiaan..Banyak perempuan perkasa macam ini harus berjuang sendiri memikul beratnya beban kehidupan, Untuk urusan domestik, uang mereka dapat menggaji pembantu, sopir dan penjaga anak yang terbaik, tapi tetap saja jiwa mereka kering dan haus kasih sayang. Para suami parasit ini jelas sudah terbiasa hidup enak, mereka tidak mau susah walaupun sebenarnya mereka tidak punya pekerjaan yang jelas. Kerjanya nongkrong di café, lobby sana sini dan bergaya dengan segala fasilitas orang tua atau istrinya.
Ada teman yang pintar, cantik dan dari keluarga kaya, mempunyai suami yang memilih profesi tidak jelas, bergonta ganti profesi. Setiap kali gagal istrinya turun tangan menyelesaikan semua masalah baik moril maupun materil Orang tua perempuan sampai jengkel sekali sebab tagihan kartu kredit untuk membiayai gaya hidup glamor masih dibayarkan mertuanya. Teman tadi mungkin cinta setengah mati atau sudah menerima takdirnya dengan ikhlas. Saya pernah kerumahnya dia sedang masak banyak sekali, saya pikir ada acara apa, rupanya memang suaminya sedang dalam program pembentukan badan jadi hanya boleh makan daging saja. Suami yang tidak jelas pekerjaan dan pendapatannya ini bagai raja diladeni dan diberikan makanan yang terbaik oleh istrinya. Saya dengar anaknya menangis keras sedangkan teman saya sedang sibuk memasak, ayahnya yang dekat anak tadi sedang menonton TV tidak perduli dengan tangisan anaknya.Pernah dalam keadaan susah tidak punya mobil, sang suami tidak pernah mau naik bis, maunya taksi, bahkan tidak mau memanggilkan taksi, jadi sang istri dengan sabar berdiri dipinggir jalan memanggilkan taksi buat sang raja tega.Perempuan begitu ikhlasnya mencari nafkah, meladeni suami, mengurus anak, sementara sang raja tega dengan tenangnya hidup senang tanpa perduli bagimana membantu istrinya mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Jika saja perempuan berada dirumah dan memberikan kesempatan bekerja kepada laki-laki, maka mungkin keadaan akan menjadi lebih baik. Tapi bagaimana dengan emansipasi, dengan persamaan hak, dengan investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk pendidikan, apakah dengan tidak bekerja ia menjadi sia-sia hidupnya? Tidak jika ia ikhlas menerima dan menjalankan perannya sebagai sumber kasih sayang dan pengetahuan bagi keluarganya, maka ia akan bahagia menjalankan kehidupannya. Kalau saya ingat perjalanan hidup saya rasanya dulu pada saat anak-anak masih kecil dengan pendapatan kita yang serba pas tetap membuat kita bahagia. Saya bekerja sebagai asisten dosen dengan honor yang kecil, jualan segala macam peralatan rumah tangga dengan sistem 10: 1, artinya laku 10 saya dapat 1. Dengan begitu saya dapat menghemat pengeluaran dengan tidak membeli barang-barang seperti kompor, piring, karpet, gelas, dll. Karena saya hanya bekerja beberapa jam seminggu, maka banyak waktu dipergunakan untuk bermain dengan anak sambil belajar bagaimana berumah tangga. Setiap sore sehabis anak mandi, berjalan-jalan keliling komplek sambil menunggu suami pulang. Rasanya bahagia sekali melihat papanya pulang, kadang membawa martabak atau buah sebagai oeh-oleh.
Seiring perjalanan waktu, begitu anak pertama berumur 8 tahun dan anak kedua berumur 3 tahun saya mulai bekerja full time sebagai manager disebuah bank asing. Lompatan yang sangat besar dari seorang free lancer menjadi manager perusahaan besar dengan segala fasilitasnya. Gaji besar, jatah mobil terbaru, keanggotaan di klub ternama dan kesibukan yang luar biasa membuat adanya perubahan cara pandang. Semakin sulit mendifinisikan arti bahagia, semua menjadi bersifat materi dan UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Persoalan rumah tangga satu persatu muncul dan semakin rumit karena ego yang bicara. Masing-masing merasa benar dan sebagai perempuan yang mempunyai penghasilan besar mulai berfikir bahwa hidup sendiri lebih bahagia.Berbagai masalah dan penderitaan yang menempa bagaikan seekor ulat buruk rupa yang berubah menjadi kepompong dan akhirnya keluar menjadi kupu-kupu cantik. Perjuangan menuju ikhlas dan percaya bahwa semua harta benda tidak ada artinya jika rumah tangga kita tidak rukun. Rumah tangga adalah surga dunia yang diciptakan Allah untuk kita, jadi jangan pernah berhenti berjuang mempertahankannya.Hanya dengan berpegang kepada aturan Allah dan Rasulnya, maka kita perempuan yang bekerja tetap menempatkan kebahagiaan keluarga diatas segalanya.Kita rela meninggalkan semua kehidupan semu duniawi untuk mendapatkan kebahagian dan surga dunia, melalui keluarga sakinah, mawadddah dan rahmah. amien
Senin, 04 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar